Web Tools

Sejarah

 Untuk sejarah sudah di upload di Wikipedia

 https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Besar_Kauman_Salatiga

atau dapat dibaca secara lengkap di buku 

Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga Dalam Perspektif Sejarah, 
Arsitektur dan Pengelolaannya). Edisi Revisi 

Penulis : Wahyu Gumelar, S.H. 
Cetakan Pertama, Oktober 2018 
Cetakan Revisi, Juli 2022



Selain buku di atas terdapat buku bacaan lainnya yang diperoleh dari team redaksi buletin Masjid





Peran Masjid Pada Masa Penjajahan Sampai Setelah Kemerdekaan

 

M

asjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga merupakan masjid tertua kedua di Kota Salatiga ini merupakan bagian dari sejarah penyebaran agama Islam di Kota Salatiga. Masjid ini di bangun pada saat Perang Diponegoro (1825-1830) pada tahun 1247 H atau 1832 M oleh seorang Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro dan sekaligus abdi dalem Pangeran Pakubuwana VI. Sebagai bukti bahwa Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga merupakan masjid bersejarah, bisa di lihat di Mihrab tempat imam memimpin shalat.

Pada masa penjajahan Kolonial Belanda, Jepang sampai pada masa Kemerdekaan Republik Indonesia, Masjid telah banyak memberikan sumbangsih kepada masyarakat di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang khususnya masyarakat yang beragama Islam. Karena pada saat itu Masjid digunakan sebagai tempat untuk memutus suatu perkara perdata Islam yakni peradilan Agama.

Pada masa Kolonial Belanda, Masjid merupakan tempat menyusun strategi perang pada Perang Jawa (1825-1830), kemudian setelah itu digunakan sebagai tempat peradilan agama.  Hal ini ditunjukkan dengan adanya penerbitan Pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) yang dikeluarkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai landasan formil untuk mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang peradilan yaitu berdirinya Raad Islam [1], disamping itu pemerintah Kolonial Belanda mengintruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam dalam staatblad tahun 1820 Nomor 22 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan masyarakat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama .[2]

Sejarah Peradilan Agama Salatiga  terus berjalan sampai tahun 1940, kantor yang ditempatinya masih di serambi Masjid dengan Ketua dan Hakim Anggotanya diambil dari alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu ada 3 orang yakni, Kyai Salim sebagai Ketua; Kyai Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota dan Kyai Muh. Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara meliputi wilayah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.[3]

Pada masa penjajahan Jepang, Masjid masih digunakan sebagai kantor pengadilan Agama Kota salatiga pada tahun 1942-1945. Pada masa penjajahan Jepang ini memang hanya sebentar karena pada saat itu Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran.[4]

Pada masa Kemerdekaan serambi Masjid masih digunakan sebagai Peradilan Agama Kota Salatiga yakni pada tahun 1945 sampai sekitar tahun 1960an.[5] Pada tahun 1949 yang menjabat sebagai Ketua adalah Kyai Irsyam yang dibantu 7 pegawai.  Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 Masjid Besar Kauman Salatiga juga digunakan sebagai Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Semarang di Kota Salatiga sekitar pada tahun yang sama.[6]

Selain sebagai tempat Peradilan Agama, Masjid dahulu juga digunakan sebagai kantor Departemen Agama Kabupaten Semarang (sekarang: Kementerian Agama yang sebelumnya bernama Kantor Urusan Agama (KUA)). Kementerian Agama Kabupaten Semarang berdiri pada tahun 1974 dengan nama Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Semarang yang berlokasi di Salatiga. Pada saat itu, Kepala Kantor Perwakilan Depertemen Agama adalah Bapak KH. M. Bakrie Tolchah (Alm) yang juga merupakan pengelola Masjid Besar Kauman Salatiga. Kantor Perwakilan Depertemen Agama Kabupaten Semarang di salatiga ini menenpati area Masjid selama kurang lebih 3 tahun yakni sekitar tahun 1974 sampai dengan tahun 1976.[7]


 

Bagian 4

Arsitektur Bangunan Masjid

 

A.        Arsitektur Sebelum di Bangun

Masjid Kauman begitulah yang sering dikatakan oleh masyarakat. Sebelum kepenjelasan terkain arsitektur bahwa perlu kita ketahui nama Kauman mememliki keterkaitan dengan keberadaan Kraton Kasunanan Surakarta, berdiri seumur dengan dibangunnnya masjid Agung oleh Paku Buwono III tahun 1757 Masehi Masjid dibangun oleh Raja sebagai Sayyidin Panatagama Kholifotullah, yang beraarti raja selain menjadi pemimpin negara (kerajaan) raja juga sebagai pemimpin agama agar rakyat dapat hidup damai dan sejahtera, setelah masjid berdiri maka berfungsilah masjid tersebut sebagai pusat dahwah islam bagi kraton Kasunanan Surakarta karena kerjaan Surakarta adalah kelanjutan dari kerajaan Mataram Islam Demak, kemudian pindah ke Kerajaan Pajang, Mataram Islam (Sultan Agung) Kerajaan Kartosuro dan yang terakhir kerajaan Suirakarta Hadiningrat untuk melaksanakan tugas raja sebagi Sayyidina Panatagama Khalifatullah,maka raja mengangkat dan menempatkan orang penghulu (seorang ahli dibidang agama sekaligus penasehat raja), tanah kraton hanya boleh ditempati oleh rakyat yang beragama islam[8].

Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan adanya penempatan abdi dalem pemetakan yang bertugas dalam bidang keagamaan damn kemasjidan yaitu Kanjeng Kyai Penghulu Mohammad Thohar Hadiningrat ( Penghulu dalem ing keraton Surakarta) yang bermukim disekitar Masjid Agung penghulu membawahi tanah disekitar masjid yang warganya terdiri dari abdi dalem pemethakan dan ulama sebagai pembantu/ mewakili tugas penghulu apabila penghulu berhalangan, tanah yang belia tempati adalah pemberian dan Sunan PB.III denga status tanah anggaduh, yang berati hanya berhak menempati atau nglungguhi dan tidak punya hak milik, oleh kraton tanah yang ditempati penghulu dalem mutihan tersebut diberi nama perkauman, artinya tempat tinggal para kaum dan menjadi Kauman seperti yang dijelaskan oleh RM. Sajid dalam buku Kutipan Babad Sala.[9] “panggenahing abdi dalem ngulama, saking pangkat bupati sak-andhahanipun sedaya, dumugi kaum, naminipun kampung kauman” [10]

Penghulu dalam kemasjidan,khususnya di Masjid Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh ahli agama yang terdiri dari :

Ø   Ketib/Khotib, yaitu ulama yang bertugas memberikan Khotbah pada saat sholat jumat dan   sebagai Imam sholat rowatib.

Ø   Modin, yaitu orang yeng bertugas memukul bedhug atau kethongan saat  tanda waktu sholat wajib telah tiba kemudian mengumandangkan adzan, namun dalam kehidupan sehari-hari modin juga melaksana-kan tugas  untuk mengurusi  hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dan kematian,memberikan doa dalam acara selamatan, memndikan jenasah  dsb.

Ø   Qoyyim, yaitu orang yang betugas membantu tugas dan pekerjaan modin

Ø   Merbot, yaitu  orang yang bertugas sebagai juru bersih dan mengelola fisik Masjid, seperti menyediakan air, tikar dan alat perkakas masjid.[11]

Dengan demikain dapat disimpulkan bahwa keberadaan kampung kauman itu ada karena memang dikehendaki  oleh kraton sebagai  bagian dari 4 komponen pola kota pemerintahan kerajaan Mataram Islam yang terdiri dari Keraton, Alun-alun, Masjid dan Pasar, dan para abdi dalem pemethakan inilah yang mencitrakan  kauman sebagai kampung yang didominasi oleh para Priyayi dari golongan Ulama atau Santri yang ditempatkan oleh pihak keraton atas kehendak raja yang mengemban tugas mulia untuk “ Meng-Islamkan “ masyarakat, mereka yang menempati tanah disekitar Masjid Kerajaan,namaum sebelum  ditempatkan para abdi dalem mutihan oleh raja pada tanah yang berada  disekitar masjid tersebut telah ada terlebih dahulu orang-orang yang sudah bertempat tinggal  diderah tersebut.[12]

Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga (1970-an) yang dulunya bernama Masjid Besar Kodya Salatiga[13] merupakan masjid tertua di Kota Salatiga. Masjid ini terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, atau bertepatan dengan Jalan K.H.A. Wahid Hasyim Nomor 2 Kauman Salatiga (1963) yang sebelumnya bernama Jalan Masjid.[14]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.1 – Denah Lokasi Masjid

Sumber : Data Peneliti

1.           Tipologi Bentuk Masjid

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.3 – Ilustrasi Desain Masjid Lama

Sumber : Data Peneliti

 

Adaptasi percampuran budaya di Indonesia menandai adanya sebuah inovasi baru tentang arsitektur, ketika eksperimen dan penciptaan bentuk-bentuk arsitektur baru lahir dengan didorong oleh asimilasi budaya, sosial dan etika maupun norma. Walaupun berbagai jenis bangunan memiliki karakter utama struktural dan tradisi bersama, akan tetapi masing-masing juga pasti mengandung sejumlah karakter atau fitur yang dapat dikatakan sebagai pengaruh eksternal yang berasal dari sejumlah tradisi arsitektural asing.[15]

Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga dulunya dapat diketahui bahwa bentuk masjid sangat unik dan khas, membedakannya dengan masjid-masjid di Kota Salatiga. Tampak masjid memiliki bentuk atap tumpang bersusun empat yang merupakan bagian kepala masjid, menampilkan bangunan masjid yang khas dan membedakannya dengan jenis atau tipe bangunan tradisional Jawa lainnya.

Masjid yang memiliki karakter bangunan sebagaimana yang ada pada arsitektur Jawa memiliki tipologi tertentu yang mendasari dan menjadi ciri-ciri khas masjid tersebut. Apabila dibagi menjadi tiga  bagian yaitu; kepala, badan, dan kaki, tampak bahwa masjid ini memiliki elemen-elemen yang berada pada tiga bagian tersebut serta memperlihatkan struktur bangunannya. Yang mengandung makna filosofi Iman, Islam dan Ihsan[16]

a.      Struktur Denah Masjid

 Denah pada Masjid dahulu  memiliki unsur-unsur ruang yang terbagi menjadi dua ruangan mendasar, yaitu ruang induk atau dalem yang merupakan ruang utama shalat dan bersifat tertutup dan terdapat dua pintu di sebelah kanan dan dua pintu di sebelah kiri serta terdapat emperan atau teras dengan pagar kayu. Sedangkan ruang serambi atau pendopo yang merupakan ruangan terbuka, berfungsi sebagai ruang shalat juga sebagai ruang untuk kegiatan yang lain seperti pengajian dan musyawarah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.4 – Struktur Denah Bangunan Masjid

Sumber : Data Peneliti

 

Di dalam masjid terdapat ruangan di sebelah kanan dan sebelah kiri tempat shalat Imam. Sebelah kanan digunakan untuk menyimpan Bandoso atau kerenda mayat dan sebelah kiri digunakan sebagai gudang. Selain itu, di dekat tempat shalat imam terdapat ruangan /  omah-omahan yang dulunya dipakai untuk sholat pejabat sekelas Bupati / Patih, dan terdapat mimbar untuk menyampaikan khutbah.[17]

Struktur denah pada Masjid lebih sederhana dari pada rumah Jawa. Namun, unsur-unsur utama pada denah tetap menjadi struktur denah utama yaitu pada ruang shalat utama (dalem), dan pada ruang serambi (pendopo). Tambahan ruang mihrab berupa ceruk kecil pada sisi barat ruang shalat utama dan menyatu.[18]

b.      Atap Masjid

 Atap tajug merupakan atap dengan bentuk spesifik yang menjadikan Masjid memiliki nuansa spiritualitas dan sakral, berperan sebagai rumah ibadah, pemberi identitas yang sangat kuat sebagai masjid tradisional Jawa. Diatas ujung atap tajug diletakkan mustaka atau mahkota yang mencermin-kan puncak kedudukan.[19]

Menurut filosofi bangunan Masjid memiliki arti mendalam dalam sebuah perjalanan rukhani untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta (Sang Khaliq).  Dalam bengunan masjid terdapat empat elemen dimana empat elemen tersebut mengartikan bahwa manusia dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT harus melalu empat tingkatan.[20]

Sedangkan pada bagian cungkup atap yang terletak pada puncak masjid dihiasi dengan mahkota atau mustoko/ kubah kecil. Diatas mahkota diletakkan tulisan Allah dalam kaligrafi arab. Atap piramida tajug berakhir pada ujung tanpa bubungan dan bertumpuk semakin keatas semakin kecil menandakan adanya unsur vertikalitas berkaitan dengan hubungan ketuhanan dan pencapaian nilai-nilai ibadah. [21]

 

Empat tingkatan ini adalah Syariat, Thariqat, Haqiqat dan Ma’rifat. Dimana syariat ini tertuang di dalam hukum-hukum fiqih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada, dengan tingkata kesadaran ada milikku dan ada milikmu. Kemudian thariqat yang artinya jalan untuk memahami haqiqat, dengan tingkat kesadaran milikku adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.7 – Ilustrasi Bangunan Masjid Lama Tampak Depan

Sumber : Data Peneliti

 

Setelah melalui Syariat dan Thariqat, tahap yang ketiga adalah Haqiqat yang artinya kebenaran, wujud dan kebenaran yang dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang memahami makna ibadah yang dilakukan, dengan tingkat kesadaran tidak ada milikku, tidak ada milikmu, semua milik Allah. SWT. Tingkatan yang terakhir adalah Ma’rifat yang artinya tahu; kenal pada Sang Pencipta, batinnya sudah dekat dengan Allah dan semua gerakannya lillahita’ala. “Tuhan sedekat nadi di leher atau ana al-haq, tidak ada aku tidak ada kamu, yang ada hanyalah Allah SWT.”[22]

Selain itu, pada bangunan serambi atau pendopo beratapkan limasan dengan di topak empat soko atau pilar di dalamnya. Dengan lima daun pintu di bagian depan dengan pagar pintu besi dan dua daun pintu di bagian barat kanan dan kiri serambi. Terdapat pula menara papak pada bagian pintu serambi sebelah kanan dan sebelah kiri dimana dahulu digunakan sebagai tempat tidur penjaga masjid dan untuk menyimpan barang. Selain itu terdapat tlondak atau tangga yang menjulur dari selatan sampai utara depan masjid, dan memiliki pelataran yang luas, dan disisi bagian utara pelataran terdapat jam bencet/jam matahari.

2.           Sisa-sisa Peninggalan Masjid Lama

Diketahui bahwa Masjid sebagai masjid tertua kedua di Kota Salatiga, tetntunya memiliki artefak-artefak peninggalan. Berikut beberapa sisa-sisa peninggalan yang masih terisa dari Masjid, antara lain sebagai berikut:

a.      Mihrab

 Mihrab atau dikenal sebagai tempat imam. Masjid memiliki Mihrab yang dulunya digunakan sebagai tempat shalat pejabat Bupati/Patih. Mihrab ini sampai sekarang masih dan dipergunakan sebagai tempat imam sholat. Mihrab ini dibuat pada saat masjid di bangun yakni sekitar tahun 1832 M.

b.      Jam Bencet/Jam Matahari

 Jam matahari/jam bencet/sundial adalah sebuah perangkat sederhana yang  menunjukkan waktu  berdasarkan pergera-kan matahari di meridian. Jam matahari merupakan perangkat petunjuk waktu yang sangat kuno. Rancangan jam matahari yang paling umum dikenal meman-faatkan bayangan yang menimpa permukaan cekungan yang ditandai dengan jam-jam dalam suatu hari. [23] Masjid memiliki sebuah jam matahari/jam bencet yang dulunya digunakan untuk melihat waktu shalat. Namun, sekarang sudah tidak digunakan lagi karena perkembangan zaman.

c.       Atap Mimbar

Mimbar atau minbar adalah platform di dalam masjid dimana khotib berdiri mem-beri khotbah jum’at-an, khutbah Idul Fitri, khutbah Idul Adha serta yang lainnya.[24] Masjid memiliki sebuah mimbar bersejarah, dimana dahulu digunakan untuk me-nyampaikan khutbah. Namun, sisa mimbar kini tinggal atapnya saja karena tidak diketahui keberadaanya pada saat renovasi.

d.     Pagar Emperan /Teras Masjid Utama

Dahulu Masjid pada masjid utama memiliki emperan atau teras di sebelah selatan dan utara masjid. Emperan tersebut memiliki pagar pembatas. Namun, setelah renovasi pada masjid pagar tersebut kini di pasang di tembok serambi masjid.

e.      Bedug dan Kentongan

 Bedug merupakan isntrumen musik tradisional yang digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagi alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Bedug sejarahnya berasal dari India dan China. Sejarahnya ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang. Kemudian Cheng Ho pergi dan hendak memberikan hadiah, raja Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug menjadi bagian dari masjid dan digunakan sebagai panggilan sebelum adzan waktu shalat.[25] 

Masjid memiliki sebuah bedug dan kentongan yang dulunya digunakan sebagai penanda masuknya waktu shalat sebelum adzan dikumandangkan dan ketika iqomah diperdengar-kan. Yang artinya digunakan sebagai penada waktu sholat dan penanda waktu akan dimulainya sholat berjamaah di masjid. Tapi, bedug ini sekarang di tabuh atau dibunyaikan ketika akan shalat Jum’at, kemudian ketiha hari raya dan ketika selesai shalat tarawih pada bulan Ramadhan.

f.        Sisa-sisa kayu

Bangunan Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga dahulunya didominasi dengan kayu-kayu yang berkualitas. Hal ini, dibuktikan masih ada sebagian kayu yang masih utuh sampai sekarang. Kayu-kayu yang dulunya merupakan soko guru/ pilar masjid kini digunakan sebagai blandar, pintu maupun jendela dan yang lainnya.

 

B.         Arsitektur Setelah di Renovasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.13 – Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Tampak Depan Setelah di Renovasi

Sumber : Data Peneliti

 

Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga melakukan renovasi pertama pada tahun 1950-an. Kemudian pemugaran dilakukan kembali pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006 dan membeli sebuah tanah di sebelah selatan masjid yang diprakarsai oleh Bapak Ahmad Mudhaffar dan Bapak H. Puji Widodo pada tanggal 28 April 2010  yang digunakan untuk lahan parkir dan kegiatan penyembelihan hewan Qurban. Dari masa ke masa masjid mengalami perubahan yang signifikan dari segi pembangunan. Namun, yang disayangkan yakni ada sebagian nilai-nilai sejarah masjid yang hilang.

Masjid dari segi bangunan sudah bisa dikatakan sebagai masjid modern. Hal ini, terlihat dari bangunannya yang megah dan mirip dengan bangunan masjid-masjid modern masa kini. Nuansa sejarah sudah hilang hanya meninggalkan sedikit bentuk dari masjid pada bagian masjid utama yakni atap tumpang empat yang ditopang pilar empat.

 

1.           Struktur Denah

 Struktur denah bangunan Masjid sudah mengalami sedikit perubahan dan sedikit tambahan-tambahan bangunan dari bangunan masjid yang lama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.14 – Denah Lokasi Masjid Sekarang

Sumber : Data Peneliti

 

2.           Masjid Utama

 Bangunan induk yang merupakan ruang utama Masjid ditandai dengan denah bujur sang-kar, memiliki empat soko guru/pilar di tengah bangunan, din-ding bata pada tiap sisi-sisinya, pintu dan jendela, dan beratap tajug berjenjang lima yang meliputi tajuk dasar beratapkan genting, tajug kedua sampai empat beratapkan beton dengan kubah/ mustoko di tajug bagian pucuknya. Menurut maknanya memuat filosofi adanya Rukun Islam yang lima.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.15 – Tajug dan Kubah Masjid Utama

Sumber : Data Peneliti

 

Selain itu, yang dulunya di masjid utama di sebelah kiri dan kanan ada emperan atau teras, sekarang sudah digabung masuk menjadi ruang utama masjid dengan empat jendela, dua di sebelah kiri dan dua lagi disebelah kanan. Kemudian terdapat tiga daun pintu masuk ruang masjid utama. Dengan dua jendela di sebelah kiri dan kanan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.16 – Interior Masjid Utama

Sumber : Data Peneliti

 

3.           Serambi Masjid

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.17 – Serambi Masjid/ Pendopo Masjid

Sumber : Data Peneliti

 

 Serambi masjid terdiri dari dua lantai yang ditopang dengan empat pilar beton. Pada lantai dasar digunakan sebagai tempat shalat, musyawarah, dan pengajian. Sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat shalat ketika di lantai dasar sudah penuh.

4.       Menara Al-Anbiya

 Tambahan bangunan selanjutnya adalah bangunan Menara al-Anbiya yang berada di depan sisi utara masjid yang dibangun pada tahun 2015 yang diprakarsai oleh Bapak Drs. H.M. Sjatibi. Pembangunan ini memakan waktu selama 9 bulan dan biaya sebanyak Rp. 200.605.000 yang berasal dari jamaah. Menara tersebut diresmikan oleh Walikota Salatiga H. Yuliyanto, S.E., MM., pada hari Ahad tanggal 18 Oktober 2015 bersamaan dengan Peringatan Tahun Baru Hijriyah dan Santunan Anak Yatim.

Keberadaan menara tersebut, sebagai tempat mengumandangkan adzan, untuk menambah fungsi ekstetika, garda kemanan dan kemegahan kompleks Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga itu sendiri. Demikian halnya, Masjid terletak di tempat strategis, sebagai kelengkapan bangunan masjid yang sudah megah, maka perlu di dukung adanya sarana yang lain dalam hal ini menara masjid. Menara ini bernama menara al-Anbiya karena tinggi menara ini 25 meter yang secara fislosofi merupakan jumlah Nabi dan Rosul.[26]

5.       Pondok Tahfidhul Qur’an “Al-Atiiq”

Pondok Tahfidhul Qur’an Al-Atiiq ini didirikan pada tahun 2019 lebih tepatnya diresmikan pada hari Ahad tanggal 8 September 2019 oleh Walikota Salatiga Bapak Yuliyanto, SE., MM. Pondok ini nantinya diharapkan mampu memcetak generasi kader penerus yang hafal al-Qur’an.

Pondok Tahfidhul Qur’an ini berada di komplek Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga ini beralamat di jalan K.H.A. Wahid Hasyim Nomor 2 RT 2 RW 2 Kauman Kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Pondok Tahfidh Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga, ini hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sebuah lembaga pendidikan yang professional dan berkualitas.

Salah satu tujuan didirikan lembaga ini adalah selain membantu dalam membaca, menulis dan memahami isi kandungan al-Qur’an dengan baik dan benar, juga untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Islam. Ketidakpahaman sebagian umat terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam yang benar membuat keadaan kaum muslimin sekarang ini semakin memprihatinkan, mereka seakan asing dan merasa telah kehilkangan pegangan hidup karena terkena pengaruh negative arus modernisasi dan globalisasi. Kondisi seperti ini tentu sangat berbahaya apabila dialami para generasi penerus yang merumakan asset agama dan bangsa Indonesia ini.

Sebagai seoarang muslim, kita diwajibkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Termasuk dalam kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah memberantas kejahilan terhadap ajaran syariat Islam dikalangan umat. Pemahaman terhadap ajaran Islam yang benar mesti selalu diajarkan dikalangan masyarakat saat ini, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.

Adapun Visi dan Misi Pondok Tahfidhul Qur’an “Al-Atiiq” ini adalah:

Visi    : Menjadikan Rumah Tahfidh Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga menjadi lembaga yang unggul yang mampu mencetak kader penerus Islam yang berilmu pengetahuan, berakhlaq mulia, perprestasi dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.

Misi :  

a.      Membina dan melatih peserta didik kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik dan benar

b.      Mengenalkan serta menanamkan pemahaman syariat Islam yang benar;

c.       Menyelenggarakan pendidikan yang sistematis, terarah dan profesiaonal;

d.     Memberi pelayanan dan membantu masyarakat dalam bidang pendidikan.

Kurikulum adalah serangkaian materi yang harus diajarkan kepada peserta didik, materi yang diterapkan adalah sebagai berikut:

a.      Materi pokok

Membaca al-Qur’an dan menghafal dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid.  Tahsin Al-Qur’an, Tahfidh Al-Qur’an (Umum/Reguler), Tahfidh Al-Qur’an (Paket/Karantina), Tafsir Al-Qur’an, Syakhsiyah Qur’aniyah, Tahtimul Qur’an, Kisah-Kisah Qur’an

b.    Materi penunjang

v Kitab kuning

v Bahstul masail diniyah

v Pembelajaran ilmu tauhid, fiqih, ushul fiqih, dan tasawuf tingkat dasar dan yang lainnya.

6.       Fasilitas Masjid

Terdapat fasilitas pendukung yang berada di Masjid antara lain adalah tempat wudhu pria maupun wanita, toilet atau WC pria maupun wanita, mukena, al-qur’an, sarung, parkir luas, Pondok Tahfidhul Qur’an, TPQ dan PAUD. Menara masjid, gudang, tempat penitipan sepatu/sandal, ruang belajar (TPA / madrasah), aula serba guna, kantor sekretariat, sound system dan multimedia, pembangkit listrik/genset.