Sejarah
Untuk sejarah sudah di upload di Wikipedia
https://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Besar_Kauman_Salatiga
Peran Masjid Pada Masa Penjajahan Sampai Setelah Kemerdekaan
M |
asjid Besar Al-Atiiq
Kauman Salatiga merupakan masjid tertua kedua di Kota Salatiga ini merupakan
bagian dari sejarah penyebaran agama Islam di Kota Salatiga. Masjid ini di
bangun pada saat Perang Diponegoro (1825-1830) pada tahun 1247 H atau 1832 M
oleh seorang Laskar Prajurit Pangeran Diponegoro dan sekaligus abdi dalem
Pangeran Pakubuwana VI. Sebagai bukti bahwa Masjid Besar Al-Atiiq Kauman
Salatiga merupakan masjid bersejarah, bisa di lihat di Mihrab tempat imam
memimpin shalat.
Pada
masa penjajahan Kolonial Belanda, Jepang sampai pada masa Kemerdekaan Republik
Indonesia, Masjid telah banyak memberikan sumbangsih kepada masyarakat di Kota
Salatiga dan Kabupaten Semarang khususnya masyarakat yang beragama Islam. Karena
pada saat itu Masjid digunakan sebagai tempat untuk memutus suatu perkara
perdata Islam yakni peradilan Agama.
Pada masa Kolonial Belanda, Masjid
merupakan tempat menyusun strategi perang
pada Perang Jawa (1825-1830), kemudian setelah itu digunakan sebagai tempat peradilan
agama. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
penerbitan Pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatsregaling) yang
dikeluarkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai landasan formil untuk
mengawasi kehidupan masyarakat Islam di bidang peradilan yaitu berdirinya Raad
Islam [1],
disamping itu pemerintah Kolonial Belanda mengintruksikan kepada para Bupati
yang termuat dalam dalam staatblad tahun 1820 Nomor 22 yang menyatakan
bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan masyarakat hendaknya
diserahkan kepada Alim Ulama .[2]
Sejarah Peradilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940, kantor yang
ditempatinya masih di serambi Masjid dengan Ketua dan Hakim Anggotanya diambil
dari alumnus Pondok Pesantren. Pegawai yang ada pada waktu itu ada 3 orang yakni, Kyai Salim sebagai Ketua; Kyai
Abdul Mukti sebagai Hakim Anggota dan Kyai Muh. Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara meliputi
wilayah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang.[3]
Pada masa penjajahan Jepang, Masjid
masih digunakan sebagai kantor pengadilan Agama Kota salatiga pada tahun
1942-1945. Pada masa penjajahan Jepang ini memang hanya sebentar karena pada
saat itu Jepang dihadapkan dengan berbagai pertempuran.[4]
Pada masa Kemerdekaan serambi Masjid
masih digunakan sebagai Peradilan Agama Kota Salatiga yakni pada tahun 1945
sampai sekitar tahun 1960an.[5] Pada tahun 1949 yang
menjabat sebagai Ketua adalah Kyai Irsyam yang dibantu 7 pegawai. Setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945 Masjid Besar Kauman Salatiga juga digunakan sebagai Kantor Urusan
Agama (KUA) Kabupaten Semarang di
Kota Salatiga sekitar pada tahun yang sama.[6]
Selain sebagai tempat Peradilan Agama,
Masjid dahulu juga digunakan sebagai kantor Departemen Agama Kabupaten Semarang
(sekarang: Kementerian Agama yang
sebelumnya bernama Kantor Urusan Agama (KUA)). Kementerian Agama Kabupaten
Semarang berdiri pada tahun 1974 dengan nama Kantor Perwakilan Departemen Agama
Kabupaten Semarang yang berlokasi di Salatiga. Pada saat itu, Kepala Kantor Perwakilan Depertemen Agama
adalah Bapak KH. M. Bakrie Tolchah (Alm) yang juga merupakan pengelola Masjid Besar Kauman Salatiga. Kantor
Perwakilan Depertemen Agama Kabupaten Semarang di salatiga ini menenpati area
Masjid selama kurang lebih 3 tahun yakni sekitar tahun 1974 sampai dengan tahun
1976.[7]
Bagian 4
Arsitektur Bangunan Masjid
A.
Arsitektur
Sebelum di Bangun
Masjid Kauman begitulah yang sering dikatakan oleh
masyarakat. Sebelum kepenjelasan terkain
arsitektur bahwa perlu kita ketahui nama Kauman mememliki keterkaitan
dengan keberadaan Kraton Kasunanan Surakarta, berdiri seumur dengan
dibangunnnya masjid Agung oleh Paku Buwono III tahun 1757 Masehi Masjid
dibangun oleh Raja sebagai Sayyidin Panatagama Kholifotullah, yang
beraarti raja selain menjadi pemimpin negara (kerajaan) raja juga sebagai
pemimpin agama agar rakyat dapat hidup damai dan sejahtera, setelah masjid
berdiri maka berfungsilah masjid tersebut sebagai pusat dahwah islam bagi
kraton Kasunanan Surakarta karena kerjaan Surakarta adalah kelanjutan dari
kerajaan Mataram Islam Demak, kemudian pindah ke Kerajaan Pajang, Mataram Islam
(Sultan Agung) Kerajaan Kartosuro dan yang terakhir kerajaan Suirakarta
Hadiningrat untuk melaksanakan tugas raja sebagi Sayyidina Panatagama
Khalifatullah,maka raja mengangkat dan menempatkan orang penghulu (seorang
ahli dibidang agama sekaligus penasehat raja), tanah kraton hanya boleh
ditempati oleh rakyat yang beragama islam[8].
Lahirnya kampung Kauman dimulai dengan adanya penempatan abdi dalem
pemetakan yang bertugas dalam bidang keagamaan damn kemasjidan yaitu Kanjeng
Kyai Penghulu Mohammad Thohar Hadiningrat ( Penghulu dalem ing keraton
Surakarta) yang bermukim disekitar Masjid Agung penghulu membawahi tanah
disekitar masjid yang warganya terdiri dari abdi dalem pemethakan dan ulama
sebagai pembantu/ mewakili tugas penghulu apabila penghulu berhalangan, tanah
yang belia tempati adalah pemberian dan Sunan PB.III denga status tanah
anggaduh, yang berati hanya berhak menempati atau nglungguhi dan tidak punya
hak milik, oleh kraton tanah yang ditempati penghulu dalem mutihan tersebut
diberi nama perkauman, artinya tempat tinggal para kaum dan menjadi Kauman
seperti yang dijelaskan oleh RM. Sajid dalam
buku Kutipan Babad Sala.[9] “panggenahing
abdi dalem ngulama, saking pangkat bupati sak-andhahanipun sedaya, dumugi kaum,
naminipun kampung kauman” [10]
Penghulu dalam
kemasjidan,khususnya di Masjid Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh
ahli agama yang terdiri dari :
Ø Ketib/Khotib, yaitu ulama yang bertugas memberikan
Khotbah pada saat sholat jumat dan sebagai Imam sholat
rowatib.
Ø Modin, yaitu orang yeng bertugas memukul bedhug
atau kethongan saat tanda waktu sholat wajib telah tiba kemudian
mengumandangkan adzan, namun dalam kehidupan sehari-hari modin juga
melaksana-kan tugas untuk mengurusi hal-hal yang
berkaitan dengan perkawinan dan kematian,memberikan doa dalam acara selamatan,
memndikan jenasah dsb.
Ø Qoyyim, yaitu orang yang betugas membantu tugas
dan pekerjaan modin
Ø Merbot, yaitu orang yang bertugas
sebagai juru bersih dan mengelola fisik Masjid, seperti menyediakan air, tikar
dan alat perkakas masjid.[11]
Dengan demikain dapat disimpulkan bahwa keberadaan kampung kauman itu
ada karena memang dikehendaki oleh kraton sebagai bagian
dari 4 komponen pola kota pemerintahan kerajaan Mataram Islam yang terdiri dari
Keraton, Alun-alun, Masjid dan Pasar, dan para abdi dalem pemethakan inilah
yang mencitrakan kauman sebagai kampung yang didominasi oleh para
Priyayi dari golongan Ulama atau Santri yang ditempatkan oleh pihak keraton
atas kehendak raja yang mengemban tugas mulia untuk “ Meng-Islamkan “
masyarakat, mereka yang menempati tanah disekitar Masjid Kerajaan,namaum
sebelum ditempatkan para abdi dalem mutihan oleh raja pada tanah
yang berada disekitar masjid tersebut telah ada terlebih dahulu
orang-orang yang sudah bertempat tinggal diderah tersebut.[12]
Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga (1970-an) yang
dulunya bernama Masjid Besar Kodya Salatiga[13]
merupakan masjid tertua di Kota Salatiga. Masjid ini terletak di Kampung
Kauman, Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga, atau
bertepatan dengan Jalan K.H.A. Wahid Hasyim Nomor 2 Kauman Salatiga (1963) yang
sebelumnya bernama Jalan Masjid.[14]
Gambar 4.1 – Denah Lokasi Masjid
Sumber : Data Peneliti
1.
Tipologi
Bentuk Masjid
Gambar 4.3 – Ilustrasi Desain Masjid Lama
Sumber : Data Peneliti
Adaptasi percampuran budaya di Indonesia menandai adanya
sebuah inovasi baru tentang arsitektur, ketika eksperimen dan penciptaan
bentuk-bentuk arsitektur baru lahir dengan didorong oleh asimilasi budaya,
sosial dan etika maupun norma. Walaupun berbagai jenis bangunan memiliki
karakter utama struktural dan tradisi bersama, akan tetapi masing-masing juga
pasti mengandung sejumlah karakter atau fitur yang dapat dikatakan sebagai
pengaruh eksternal yang berasal dari sejumlah tradisi arsitektural asing.[15]
Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Salatiga dulunya dapat diketahui
bahwa bentuk masjid sangat
unik dan khas,
membedakannya dengan masjid-masjid di Kota Salatiga. Tampak
masjid memiliki bentuk atap tumpang bersusun empat yang merupakan bagian kepala masjid,
menampilkan bangunan masjid yang khas dan membedakannya dengan jenis atau tipe
bangunan tradisional Jawa lainnya.
Masjid yang memiliki karakter bangunan sebagaimana yang
ada pada arsitektur Jawa memiliki tipologi tertentu yang mendasari dan menjadi
ciri-ciri khas masjid tersebut. Apabila dibagi menjadi tiga bagian yaitu; kepala, badan, dan kaki,
tampak bahwa masjid ini memiliki elemen-elemen yang berada pada tiga bagian tersebut serta memperlihatkan
struktur bangunannya. Yang mengandung
makna filosofi Iman, Islam dan Ihsan[16]
a.
Struktur
Denah Masjid
Denah pada Masjid
dahulu memiliki unsur-unsur ruang yang
terbagi menjadi dua ruangan mendasar, yaitu ruang induk atau dalem yang
merupakan ruang utama shalat dan bersifat tertutup dan terdapat dua pintu di
sebelah kanan dan dua pintu di sebelah kiri serta terdapat emperan atau
teras dengan pagar kayu. Sedangkan ruang serambi atau pendopo yang
merupakan ruangan terbuka, berfungsi sebagai ruang shalat juga sebagai ruang
untuk kegiatan yang lain seperti pengajian dan musyawarah.
Gambar 4.4 – Struktur Denah Bangunan Masjid
Sumber : Data Peneliti
Di dalam masjid terdapat ruangan di sebelah kanan dan
sebelah kiri tempat shalat Imam. Sebelah kanan digunakan untuk menyimpan Bandoso
atau kerenda mayat dan sebelah kiri digunakan sebagai gudang. Selain itu,
di dekat tempat shalat imam terdapat ruangan /
omah-omahan yang dulunya dipakai untuk sholat pejabat sekelas
Bupati / Patih, dan terdapat mimbar untuk menyampaikan khutbah.[17]
Struktur denah pada
Masjid lebih sederhana dari pada rumah Jawa. Namun, unsur-unsur utama pada
denah tetap menjadi struktur denah utama yaitu pada ruang shalat utama (dalem),
dan pada ruang serambi (pendopo). Tambahan ruang mihrab berupa
ceruk kecil pada sisi barat ruang shalat utama dan menyatu.[18]
b.
Atap
Masjid
Atap tajug merupakan atap dengan
bentuk spesifik yang menjadikan Masjid memiliki nuansa spiritualitas dan
sakral, berperan sebagai rumah ibadah, pemberi identitas yang sangat kuat
sebagai masjid tradisional Jawa. Diatas ujung atap tajug diletakkan mustaka atau
mahkota yang mencermin-kan puncak kedudukan.[19]
Menurut filosofi bangunan Masjid memiliki arti mendalam
dalam sebuah perjalanan rukhani untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta (Sang
Khaliq). Dalam bengunan masjid terdapat
empat elemen dimana empat elemen tersebut mengartikan bahwa manusia dalam upaya
mendekatkan diri kepada Allah SWT harus melalu empat tingkatan.[20]
Sedangkan pada bagian cungkup atap yang terletak pada
puncak masjid dihiasi dengan mahkota atau mustoko/ kubah kecil. Diatas
mahkota diletakkan tulisan Allah dalam kaligrafi arab. Atap piramida tajug
berakhir pada ujung tanpa bubungan dan bertumpuk semakin keatas semakin kecil
menandakan adanya unsur vertikalitas berkaitan dengan hubungan ketuhanan
dan pencapaian nilai-nilai ibadah. [21]
Empat tingkatan ini adalah Syariat, Thariqat, Haqiqat dan
Ma’rifat. Dimana syariat ini tertuang di dalam hukum-hukum fiqih
yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada, dengan
tingkata kesadaran ada milikku dan ada milikmu. Kemudian thariqat yang
artinya jalan untuk memahami haqiqat, dengan tingkat kesadaran milikku
adalah milikmu dan milikmu adalah milikku.
Gambar 4.7 – Ilustrasi Bangunan Masjid Lama Tampak Depan
Sumber : Data Peneliti
Setelah melalui Syariat dan Thariqat, tahap
yang ketiga adalah Haqiqat yang artinya kebenaran, wujud dan kebenaran yang
dapat dilihat adalah kejujuran, keadilan cinta kasih. Pada tingkatan ini orang
memahami makna ibadah yang dilakukan, dengan tingkat kesadaran tidak ada
milikku, tidak ada milikmu, semua milik Allah. SWT. Tingkatan yang terakhir
adalah Ma’rifat yang artinya tahu; kenal pada Sang Pencipta, batinnya
sudah dekat dengan Allah dan semua gerakannya lillahita’ala. “Tuhan
sedekat nadi di leher atau ana al-haq, tidak ada aku tidak ada kamu, yang ada
hanyalah Allah SWT.”[22]
Selain itu, pada bangunan serambi atau pendopo beratapkan
limasan dengan di topak empat soko atau pilar di dalamnya. Dengan lima daun
pintu di bagian depan dengan pagar pintu besi dan dua daun pintu di bagian
barat kanan dan kiri serambi. Terdapat pula
menara papak pada bagian pintu serambi sebelah kanan dan sebelah kiri dimana
dahulu digunakan sebagai tempat tidur penjaga masjid dan untuk menyimpan
barang. Selain itu terdapat tlondak atau tangga yang menjulur dari
selatan sampai utara depan masjid, dan memiliki pelataran yang luas, dan disisi
bagian utara pelataran terdapat jam bencet/jam matahari.
2.
Sisa-sisa
Peninggalan Masjid Lama
Diketahui bahwa Masjid
sebagai masjid tertua kedua di Kota Salatiga, tetntunya memiliki
artefak-artefak peninggalan. Berikut beberapa sisa-sisa peninggalan yang masih
terisa dari Masjid, antara lain sebagai berikut:
a.
Mihrab
Mihrab atau dikenal sebagai tempat imam. Masjid memiliki
Mihrab yang dulunya digunakan sebagai tempat shalat pejabat Bupati/Patih. Mihrab
ini sampai sekarang masih dan dipergunakan sebagai tempat imam sholat. Mihrab
ini dibuat pada saat masjid di bangun yakni sekitar tahun 1832 M.
b.
Jam
Bencet/Jam Matahari
Jam matahari/jam bencet/sundial adalah sebuah perangkat
sederhana yang menunjukkan waktu berdasarkan pergera-kan matahari di meridian.
Jam matahari merupakan perangkat petunjuk waktu yang sangat kuno. Rancangan jam
matahari yang paling umum dikenal meman-faatkan bayangan yang menimpa permukaan
cekungan yang ditandai dengan jam-jam dalam suatu hari. [23] Masjid memiliki sebuah
jam matahari/jam bencet yang dulunya digunakan untuk melihat waktu shalat.
Namun, sekarang sudah tidak digunakan lagi karena perkembangan zaman.
c.
Atap
Mimbar
Mimbar atau minbar
adalah platform di dalam masjid dimana khotib berdiri mem-beri khotbah
jum’at-an, khutbah Idul Fitri, khutbah Idul Adha serta yang lainnya.[24] Masjid memiliki sebuah
mimbar bersejarah, dimana dahulu digunakan untuk me-nyampaikan khutbah. Namun,
sisa mimbar kini tinggal atapnya saja karena tidak diketahui keberadaanya pada
saat renovasi.
d.
Pagar Emperan
/Teras Masjid Utama
Dahulu Masjid pada
masjid utama memiliki emperan atau teras di sebelah selatan dan utara masjid.
Emperan tersebut memiliki pagar pembatas. Namun, setelah renovasi pada masjid
pagar tersebut kini di pasang di tembok serambi masjid.
e.
Bedug
dan Kentongan
Bedug merupakan isntrumen musik tradisional
yang digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagi alat
komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik.
Bedug sejarahnya berasal dari India dan China. Sejarahnya ketika Laksamana
Cheng Ho datang ke Semarang. Kemudian Cheng Ho pergi dan hendak memberikan hadiah,
raja Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug
dari masjid. Sejak itulah, bedug menjadi bagian dari masjid dan digunakan
sebagai panggilan sebelum adzan waktu shalat.[25]
Masjid memiliki sebuah
bedug dan kentongan yang dulunya digunakan sebagai penanda masuknya waktu
shalat sebelum adzan dikumandangkan dan ketika iqomah diperdengar-kan. Yang
artinya digunakan sebagai penada waktu sholat dan penanda waktu akan dimulainya
sholat berjamaah di masjid. Tapi, bedug ini sekarang di tabuh atau dibunyaikan
ketika akan shalat Jum’at, kemudian ketiha hari raya dan ketika selesai shalat
tarawih pada bulan Ramadhan.
f.
Sisa-sisa
kayu
Bangunan Masjid Besar
Al-Atiiq Kauman Salatiga dahulunya didominasi dengan kayu-kayu yang
berkualitas. Hal ini, dibuktikan masih ada sebagian kayu yang masih utuh sampai
sekarang. Kayu-kayu yang dulunya merupakan soko guru/ pilar masjid kini
digunakan sebagai blandar, pintu maupun jendela dan yang lainnya.
B.
Arsitektur
Setelah di Renovasi
Gambar 4.13 – Masjid Besar Al-Atiiq Kauman Tampak Depan Setelah
di Renovasi
Sumber : Data Peneliti
Masjid Besar
Al-Atiiq Kauman Salatiga melakukan renovasi pertama pada tahun 1950-an.
Kemudian pemugaran dilakukan kembali pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2006
dan membeli sebuah tanah di sebelah selatan masjid yang diprakarsai oleh Bapak
Ahmad Mudhaffar dan Bapak H. Puji Widodo pada tanggal 28 April 2010 yang digunakan untuk lahan parkir dan
kegiatan penyembelihan hewan Qurban. Dari masa ke masa masjid mengalami
perubahan yang signifikan dari segi pembangunan. Namun, yang disayangkan yakni
ada sebagian nilai-nilai sejarah masjid yang hilang.
Masjid dari
segi bangunan sudah bisa dikatakan sebagai masjid modern. Hal ini, terlihat
dari bangunannya yang megah dan mirip dengan bangunan masjid-masjid modern masa
kini. Nuansa sejarah sudah hilang hanya meninggalkan sedikit bentuk dari masjid
pada bagian masjid utama yakni atap tumpang empat yang ditopang pilar empat.
1.
Struktur
Denah
Struktur
denah bangunan Masjid sudah mengalami sedikit perubahan dan sedikit
tambahan-tambahan bangunan dari bangunan masjid yang lama.
Gambar 4.14 – Denah Lokasi Masjid Sekarang
Sumber : Data Peneliti
2.
Masjid Utama
Bangunan induk yang merupakan ruang utama Masjid ditandai
dengan denah bujur sang-kar, memiliki empat soko guru/pilar di tengah bangunan,
din-ding bata pada tiap sisi-sisinya, pintu dan jendela, dan beratap tajug
berjenjang lima yang meliputi tajuk dasar beratapkan genting, tajug kedua
sampai empat beratapkan beton dengan kubah/ mustoko di tajug bagian pucuknya.
Menurut maknanya memuat filosofi adanya Rukun Islam yang lima.
Gambar 4.15 – Tajug dan Kubah Masjid Utama
Sumber : Data Peneliti
Selain itu, yang dulunya di masjid utama di sebelah kiri
dan kanan ada emperan atau teras, sekarang sudah digabung masuk menjadi
ruang utama masjid dengan empat jendela, dua di sebelah kiri dan dua lagi
disebelah kanan. Kemudian terdapat
tiga daun pintu masuk ruang masjid utama. Dengan dua jendela di sebelah kiri
dan kanan.
Gambar 4.16 – Interior Masjid Utama
Sumber : Data Peneliti
3.
Serambi
Masjid
Gambar 4.17 – Serambi Masjid/ Pendopo Masjid
Sumber : Data Peneliti
Serambi masjid terdiri dari dua lantai yang ditopang
dengan empat pilar beton. Pada lantai dasar digunakan sebagai tempat shalat,
musyawarah, dan pengajian. Sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat shalat
ketika di lantai dasar sudah penuh.
4.
Menara Al-Anbiya
Tambahan bangunan selanjutnya adalah bangunan Menara al-Anbiya yang berada di depan sisi utara masjid yang dibangun pada tahun 2015 yang diprakarsai oleh Bapak Drs. H.M. Sjatibi. Pembangunan ini memakan waktu selama 9 bulan dan biaya sebanyak Rp. 200.605.000 yang berasal dari jamaah. Menara tersebut diresmikan oleh Walikota Salatiga H. Yuliyanto, S.E., MM., pada hari Ahad tanggal 18 Oktober 2015 bersamaan dengan Peringatan Tahun Baru Hijriyah dan Santunan Anak Yatim.
Keberadaan
menara tersebut, sebagai tempat mengumandangkan adzan, untuk menambah fungsi
ekstetika, garda kemanan dan kemegahan kompleks Masjid Besar Al-Atiiq Kauman
Salatiga itu sendiri. Demikian halnya, Masjid terletak di tempat strategis,
sebagai kelengkapan bangunan masjid yang sudah megah, maka perlu di dukung
adanya sarana yang lain dalam hal ini menara masjid. Menara ini bernama menara
al-Anbiya karena tinggi menara ini 25 meter yang secara fislosofi merupakan
jumlah Nabi dan Rosul.[26]
5.
Pondok Tahfidhul Qur’an “Al-Atiiq”
Pondok
Tahfidhul Qur’an Al-Atiiq ini didirikan pada tahun 2019 lebih tepatnya
diresmikan pada hari Ahad tanggal 8 September 2019 oleh Walikota Salatiga Bapak
Yuliyanto, SE., MM. Pondok ini nantinya diharapkan
mampu memcetak generasi kader penerus yang hafal al-Qur’an.
Pondok Tahfidhul Qur’an ini berada di komplek Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga ini beralamat di jalan K.H.A. Wahid Hasyim Nomor 2 RT 2 RW 2 Kauman Kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Pondok Tahfidh Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga, ini hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan sebuah lembaga pendidikan yang professional dan berkualitas.
Salah
satu tujuan didirikan lembaga ini adalah selain membantu dalam membaca, menulis
dan memahami isi kandungan al-Qur’an dengan baik dan benar, juga untuk
memperdalam pengetahuan tentang agama Islam. Ketidakpahaman sebagian umat
terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam yang benar membuat keadaan kaum muslimin
sekarang ini semakin memprihatinkan, mereka seakan asing dan merasa telah
kehilkangan pegangan hidup karena terkena pengaruh negative arus modernisasi
dan globalisasi. Kondisi seperti ini tentu sangat berbahaya apabila dialami
para generasi penerus yang merumakan asset agama dan bangsa Indonesia ini.
Sebagai
seoarang muslim, kita diwajibkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Termasuk dalam kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah memberantas
kejahilan terhadap ajaran syariat Islam dikalangan umat. Pemahaman terhadap
ajaran Islam yang benar mesti selalu diajarkan dikalangan masyarakat saat ini,
mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
Adapun Visi dan Misi Pondok
Tahfidhul Qur’an “Al-Atiiq” ini adalah:
Visi : Menjadikan
Rumah Tahfidh Masjid Besar al-Atiiq Kauman Salatiga menjadi lembaga yang unggul
yang mampu mencetak kader penerus Islam yang berilmu pengetahuan, berakhlaq
mulia, perprestasi dan bermanfaat bagi agama dan bangsa.
Misi :
a. Membina dan melatih peserta didik
kemampuan membaca al-Qur’an dengan baik dan benar
b. Mengenalkan serta menanamkan
pemahaman syariat Islam yang benar;
c. Menyelenggarakan pendidikan yang
sistematis, terarah dan profesiaonal;
d. Memberi pelayanan dan membantu
masyarakat dalam bidang pendidikan.
Kurikulum
adalah serangkaian materi yang harus diajarkan kepada peserta didik, materi
yang diterapkan adalah sebagai berikut:
a.
Materi
pokok
Membaca
al-Qur’an dan menghafal dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid. Tahsin Al-Qur’an, Tahfidh
Al-Qur’an (Umum/Reguler), Tahfidh Al-Qur’an (Paket/Karantina), Tafsir
Al-Qur’an, Syakhsiyah Qur’aniyah, Tahtimul Qur’an, Kisah-Kisah Qur’an
b.
Materi
penunjang
v Kitab kuning
v Bahstul masail diniyah
v Pembelajaran ilmu tauhid, fiqih,
ushul fiqih, dan tasawuf tingkat dasar dan yang lainnya.
6.
Fasilitas
Masjid
Terdapat fasilitas pendukung yang berada di Masjid antara lain adalah tempat wudhu pria maupun wanita, toilet atau WC pria maupun wanita, mukena, al-qur’an, sarung, parkir luas, Pondok Tahfidhul Qur’an, TPQ dan PAUD. Menara masjid, gudang, tempat penitipan sepatu/sandal, ruang belajar (TPA / madrasah), aula serba guna, kantor sekretariat, sound system dan multimedia, pembangkit listrik/genset.